LAMONGAN – Kontroversi seputar penggunaan dana hibah dari Jaringan Aspirasi Anggota DPRD Provinsi Jawa Timur (Jasmas/Pokir) untuk pembangunan gedung TK di Lamongan terus bergulir. Pasalnya, tanah yang digunakan untuk mendirikan gedung tersebut tercatat atas nama pribadi, yakni Kuniah, seorang guru TK sekaligus istri dari Zainuri, perangkat desa setempat, bukan milik lembaga yang bersangkutan.
Menanggapi hal tersebut, aktifis hukum asal Surabaya memberikan tanggapan kritis terkait legalitas dan prosedur penggunaan dana hibah dalam pembangunan fasilitas pendidikan ini.
“Masalah utama yang harus diperhatikan dalam kasus ini adalah kepemilikan tanah. Jika tanah yang digunakan tidak sah atau tercatat atas nama pribadi, maka terdapat potensi masalah hukum terkait hak guna dan pemanfaatan tanah untuk kepentingan publik,” ungkap Dwi Heri Mustika.SH, seorang aktivis hukum sekaligus lawyer tersebut. (21/12/2024).
Menurut Dwi Heri, dana hibah yang bersumber dari pokok pikiran anggota DPRD seharusnya dialokasikan untuk pembangunan fasilitas yang memenuhi ketentuan hukum dan administrasi yang jelas, termasuk status tanah yang sah. Dalam hal ini, ia menilai bahwa pembangunan gedung TK tersebut dapat berpotensi menyalahi aturan jika tanah yang digunakan tidak sah atau berstatus pribadi.
Dalam hal ini, ada beberapa peraturan yang perlu dipertimbangkan:
Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, mengatur tentang pengelolaan dan penggunaan dana hibah, yang seharusnya diperuntukkan bagi kegiatan yang mendukung kepentingan publik dan bukan untuk kepentingan pribadi. Dana hibah harus digunakan sesuai dengan perencanaan yang sah, dengan transparansi dalam pelaksanaannya.
Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, menyebutkan bahwa setiap penggunaan dana hibah, termasuk dari dana Pokir, harus berdasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, penggunaan dana hibah untuk pembangunan fasilitas di atas tanah yang statusnya pribadi bisa berpotensi melanggar ketentuan ini.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, juga mengatur tentang hak penguasaan atas tanah. Pasal 16 UU ini menyebutkan bahwa tanah yang digunakan untuk kepentingan umum harus sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan dalam hal ini tanah yang digunakan untuk pembangunan gedung TK seharusnya memiliki status hak yang jelas serta izin penggunaan yang sah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Hibah, menjelaskan bahwa penerima dana hibah wajib memastikan bahwa semua aset yang dibangun menggunakan dana hibah, termasuk tanah dan bangunan, harus memiliki status hukum yang sah dan sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan.
“Jika tanah yang digunakan tidak memenuhi syarat, maka terdapat risiko hukum yang harus dipertanggungjawabkan oleh pihak-pihak terkait, baik itu dari segi legalitas penggunaan tanah maupun potensi penyalahgunaan dana hibah,” tambah pria yang berprofesi sebagai lawyer tersebut.
Aktivis hukum tersebut juga menegaskan pentingnya transparansi dalam pengelolaan dana hibah seperti ini.
“Publik berhak tahu apakah dana hibah yang diberikan oleh anggota DPRD benar-benar digunakan untuk kepentingan masyarakat, dan tidak disalahgunakan atau digunakan untuk tujuan pribadi,” pungkasnya.
Kontroversi ini menambah panjang daftar kasus dugaan penyalahgunaan dana hibah di berbagai daerah, yang semakin mendapat perhatian publik. Para pihak terkait diharapkan segera memberikan klarifikasi dan penjelasan lebih lanjut agar masalah ini dapat diselesaikan secara tuntas dan tidak menimbulkan keraguan terhadap penggunaan dana publik di masa mendatang. (Tim).