BOJONEGORO – Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Desa Pasinan, Kecamatan Baureno, Bojonegoro, diduga menjadi ajang pungutan liar. Warga dikenai biaya membumbung tinggi hingga Rp 700 – 800 ribu per bidang, sebuah angka yang secara nyata melanggar ketentuan biaya resmi yang ditetapkan pemerintah.
Pelanggaran ini berangkat dari Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Permen ATR/BPN) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Dalam regulasi tersebut, Pasal 36 ayat (1) dengan tegas menyatakan: “Biaya yang dibebankan kepada pemohon PTSL hanya berupa Biaya Penerbitan Sertipikat dan Penggandaan Buku Tanah serta Sertipikat.”
Besaran biaya ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan. Pada tahun 2025, tarif resmi untuk penerbitan sertifikat tanah untuk objek PTSL adalah maksimal Rp 150.000. Seluruh biaya operasional lain, seperti honor tenaga teknis, konsultan, dan sosialisasi, menjadi tanggung jawab pemerintah melalui anggaran APBN dan APBD, bukan beban warga.
Namun, di lapangan, aturan ini seolah diganti dengan “kesepakatan” yang dipaksakan. Panitia setempat diduga menetapkan biaya tambahan sebesar Rp 550 – 650 ribu per bidang dengan alasan “kebutuhan tambahan”. Yang lebih mencurigakan, sosialisasi yang menjadi momen penentuan biaya ini tidak melibatkan semua pihak. Sejumlah warga mengaku sengaja tidak diundang.
“Kemarin saya tidak diundang waktu sosialisasi oleh panitia. Menurut informasi yang saya dapat, biayanya ditetapkan Rp. 700 ribu untuk orang setempat dan Rp. 800 ribu untuk orang luar,” ungkap seorang warga yang memilih untuk menyembunyikan identitasnya karena khawatir mendapat tekanan, pada (2/10/2025).
Ketiadaan undangan ini membuat warga tidak memiliki kesempatan untuk menolak atau menegosiasikan biaya yang jelas-jelas melanggar hukum. Meski mengakui bahwa biaya tersebut masih lebih murah dibandingkan mengurus sertifikat tanah secara mandiri, warga lain menegaskan bahwa hal ini adalah penyimpangan.
“Saya merasa keberatan dengan biaya segitu. Walaupun kalau dibanding dengan mandiri itu murah, tapi ini kan program yang aturannya sudah ditetapkan,” ujar warga lainnya, menyoroti esensi program bantuan yang seharusnya meringankan, bukan membebani dengan aturan tambahan.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak Pemerintah Desa Pasinan dan Panitia PTSL setempat tidak dapat dikonfirmasi untuk memberikan klarifikasi. Keheningan pihak otoritas desa semakin menguatkan dugaan adanya praktik tidak sehat dalam pelaksanaan program yang dananya bersumber dari APBN ini.
PTSL adalah program strategis nasional yang ditujukan untuk memberikan kepastian hukum atas aset tanah masyarakat dengan biaya terjangkau. Adanya biaya tambahan di luar ketentuan resmi, apalagi dengan besaran yang hampir lima kali lipat, bukan hanya merupakan pungutan liar (pungli), tetapi juga bukti kegagalan pengawasan di tingkat lokal.
Praktik sosialisasi yang tidak menyeluruh dan tertutup merupakan indikasi kuat tata kelola yang buruk dan berpotensi menyembunyikan maksud tertentu dari panitia. Ketidakmampuan media untuk mengonfirmasi pihak desa juga memunculkan pertanyaan tentang akuntabilitas dan transparansi penyelenggara program di tingkat akar rumput. (Tim).