Dugaan Pungutan Liar di SMAN 1 Jatirogo: Pendidikan Terancam oleh Praktek ‘Sumbangan’ yang Memaksa

ad612c18-770e-42e5-ad57-4e75e6f0a6c0.jpeg.webp

TUBAN – Dunia pendidikan di Kabupaten Tuban kembali diguncang oleh dugaan pungutan liar yang berkedok ‘sumbangan’ di SMAN 1 Desa Bader, Kecamatan Jatirogo. Praktik ini muncul setelah sejumlah wali murid mengungkapkan keluhan terkait biaya yang dipungut dalam rapat komite sekolah dengan nominal yang bervariasi, yang dinilai memberatkan dan tidak transparan.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, biaya yang diminta kepada orang tua siswa mencapai angka yang mengejutkan: Rp 1.900.000 untuk Kelas X, Rp 2.200.000 untuk Kelas XI, dan Rp 1.500.000 untuk Kelas XII. Pihak sekolah mengklaim bahwa uang tersebut digunakan untuk kegiatan ekstrakurikuler dan honor guru non-PNS. Namun, wali murid menilai nominal tersebut sangat tinggi dan tidak ada kejelasan rinci tentang penggunaannya.

Seorang wali murid yang enggan di sebut, terpaksa membayar pungutan tersebut, mengungkapkan kekecewaannya dengan nada kesal. “Saya sebenarnya sangat keberatan, tapi kalau protes takut anak saya nanti diperlakukan beda. Dari situ saja sudah terasa ada tekanan. Ini sudah bisa dibilang pungli,” ujarnya dengan nada tegas.

Pernyataan ini mencerminkan keresahan yang semakin meluas di kalangan orang tua siswa. Ketidakjelasan dan ketidaktransparanan dalam pengelolaan dana sekolah seringkali menjadi sumber konflik dan ketidakpercayaan, yang merugikan para wali murid dan anak-anak mereka.

Di sisi lain, Untung, Humas SMAN 1 Jatirogo, mencoba membantah tuduhan pungli dengan menyatakan bahwa sumbangan tersebut tidak bersifat wajib. “Benar, memang ada kesepakatan di rapat komite. Tapi ini bukan paksaan. Bayarnya seikhlasnya, sak nduwene duwet, tidak harus sesuai nominal yang disebutkan,” jelasnya. Namun, penjelasan ini justru memperburuk keadaan, karena istilah “tidak wajib tapi diumumkan nominalnya” justru menambah kesan bahwa sumbangan tersebut terkesan dipaksakan.

Di tengah gejolak ini, banyak pihak mulai mendesak Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur untuk segera turun tangan memeriksa dugaan pungli yang terjadi di SMAN 1 Jatirogo. Praktik pungutan yang disamarkan dengan istilah sumbangan ini jelas melanggar ketentuan yang ada dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pihak yang terbukti terlibat bisa dijerat dengan Pasal 12E UU Tipikor dengan ancaman penjara 4 hingga 20 tahun, serta Pasal 368 KUHP dengan ancaman penjara hingga 9 bulan. Bagi aparatur sipil negara yang menyalahgunakan jabatan, ancaman pidananya bisa mencapai 6 tahun penjara.

Kasus ini menjadi peringatan keras bagi pemerintah daerah untuk memperketat pengawasan terhadap dana dan sumbangan yang diterima oleh sekolah-sekolah negeri. Seorang pemerhati pendidikan lokal, menekankan pentingnya transparansi dalam pengelolaan dana pendidikan. “Sekolah seharusnya jadi tempat belajar, bukan tempat pungutan. Kalau benar terbukti, harus ada sanksi tegas,” ujarnya.

Pungutan liar yang mencemari dunia pendidikan ini seharusnya menjadi alarm bagi semua pihak untuk menjaga integritas sekolah dan memastikan bahwa pendidikan tetap menjadi hak yang terjangkau bagi semua keluarga. Masyarakat menuntut agar kejujuran dan transparansi di dunia pendidikan bisa segera diterapkan, agar generasi masa depan tidak terbebani dengan praktek-praktek yang merugikan. (Tim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

scroll to top