LAMONGAN – Kasus absurd terjadi di Desa Brengkok, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan. Seorang lansia bernama Ramut (86) dinyatakan meninggal dunia dalam data kependudukan desa, meskipun faktanya ia masih hidup. Dugaan manipulasi data ini diduga berkaitan dengan pengalihan bantuan sosial (bansos), membuat keluarganya geram dan siap menuntut kejelasan hak-hak mereka.
Kasus ini terungkap saat Imam, cucu Ramut, menanyakan bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan pangan nontunai (BPNT), serta makan sehat lansia yang sudah tiga tahun tidak diterima sang kakek. Betapa terkejutnya Imam saat mengecek data desa di sana, Ramut telah “dimatikan” secara administratif.
Tidak tinggal diam, Imam melaporkan kasus ini ke Dinas Sosial dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Lamongan. Abdul Hadi, Sekretariat Disdukcapil, menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah menerima laporan kematian Ramut dan statusnya masih hidup.
“Kalau dinyatakan meninggal itu harus ada pelaporan dari desa, kecamatan, hingga kabupaten. Sampai saat ini kami tidak pernah menerima laporan dan tidak pernah mengeluarkan akta kematian atas nama Ramut. Jadi kalau ada keterangan meninggal dunia, itu keputusan sepihak,” kata Abdul Hadi, Jumat (7/2/2025).
Kepala Desa dan Pendamping PKH Menghindar
Ketika dikonfirmasi oleh awak media, Kepala Desa Brengkok, Nuriyadi, memilih bungkam. Ponselnya aktif, namun tak ada respons, seolah menghindari pertanggungjawaban.
Hal yang sama dilakukan Affan, pendamping PKH desa. Saat dihubungi pihak keluarga, ia justru berkilah dan menyatakan, “Benar kemarin dimatikan terus dialihkan ke KPM lain, terus mau apa?” kata Affan.
Pernyataan ini semakin memperkuat dugaan adanya permainan kotor dalam pendataan bansos (bantuan sosial).
Bansos di Tangan Siapa ?
Sekretaris Kecamatan Brondong, Nurul Khumaidah, tak mau banyak bicara. Ia menyebut bahwa penerima bansos ditentukan oleh sistem pemerintah pusat. Sementara Camat Brondong, Moch. Mahfud, hanya menegaskan bahwa input data harus dilakukan dengan hati-hati.
“Kami sudah mengingatkan agar selektif dalam penyaluran bansos. Jangan sampai ada kesalahan yang merugikan warga,” ujar Mahfud.
Manipulasi Data Bisa Dipenjara
Kasus ini bukan sekadar keteledoran. Manipulasi data kependudukan memiliki konsekuensi hukum berat. Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2013, pihak yang memalsukan atau memanipulasi data kependudukan bisa dikenakan pidana hingga 6 tahun penjara dan denda Rp 75 juta.
Keluarga Ramut menuntut kejelasan dan meminta pemerintah bertindak tegas. Mereka tidak terima hak sang kakek dirampas begitu saja hanya demi kepentingan pihak lain.
Kasus ini menjadi bukti bahwa kejahatan administratif bisa berakibat nyata bahkan bisa “membunuh” orang yang masih hidup demi kepentingan tertentu. Akankah ada keadilan bagi Ramut? (**)