Polisi pelaku pembanting mahasiswa Tangerang tetap diproses, pegiat HAM: ‘Kasus ini bukan peristiwa tunggal

121079610_antarafoto-bubarkan-aksi-demo-041021-af-4.jpg
Kasus pembantingan mahasiswa saat berdemonstrasi di kantor Bupati Tangerang, Provinsi Banten, kini ditangani oleh Divisi Propam (Profesi dan Pengamanan) Polda Banten.

“Yang bersangkutan [pelaku pembantingan] sudah minta maaf. Bahkan Kapolda pun sudah minta maaf. Kapolda sudah memerintahkan Kepala Bidang Kedokteran dan Kesehatan untuk memastikan kesehatan yang bersangkutan,” kata Kabag Penum Divisi Humas Polri, Kombes Pol Ahmad Ramadhan, kepada BBC News Indonesia melalui sambungan telepon, Kamis (14/10).

“Setelah dinyatakan sehat, maka yang bersangkutan akan dimintai keterangan sebagai saksi.”

Namun, menurut lembaga KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), kasus pembantingan mahasiswa itu bukanlah peristiwa tunggal.

Kontras mencatat 814 kasus tindak kekerasan yang diduga melibatkan anggota polisi sepanjang 2020 hingga September 2021. Lembaga ini juga menilai ada eskalasi pembiaran yang selama ini ada di tingkatan internal dan eksternal kepolisian yang melegitimasi rentetan aksi tindak kekerasan.

Bagaimanapun, Kabag Penum Polri Kombes Pol Ahmad menegaskan bahwa Polri menindak tegas anggota yang bersalah tanpa melihat pangkat.

“Tiga kasus yang dilontarkan saat ini sedang didalami [pembantingan mahasiswa, kasus pedagang Medan, kasus Luwu], jadi tidak bisa disandingkan dengan ribuan, puluh ribuan kasus yang ditangani dengan serius,” katanya.

Tidak cukup minta maaf

Kombes Pol Ahmad menekankan bahwa permohonan maaf kepada mahasiswa yang dibanting oleh anggota polisi tidaklah cukup dan kasusnya akan diteruskan sesuai proses hukum yang berlaku.

Ditanya apakah itu berarti yang bersangkutan akan diproses secara hukum, ia menjawab bahwa hal itu tengah didalami.

“Brigadir NP saat pelaksanaan tugas pengamanan unjuk rasa tidak sesuai dengan prosedur, tidak sesuai dengan SOP yang berlaku,” kata Kombes Pol Ahmad.

“Apapun itu, dia salah. Tentu sekarang ini sedang didalami oleh Propam Polda. Kita tunggu hasilnya,” lanjutnya.

Video pembantingan mahasiswa semester sembilan UIN Banten bernama Fariz Amrullah oleh seorang anggota polisi berinisial NP viral di media sosial.

Peristiwa itu terjadi saat sejumlah mahasiswa berunjuk rasa di area kantor bupati pada momen HUT ke-389 Kabupaten Tangerang.

Namun, menurut KontraS, kasus ini tidak bisa selesai dengan permintaan maaf, proses damai, maupun penyelesaian melalui mekanisme etik internal Polri. Kasus kekerasan yang diduga dilakukan oleh anggota polisi harus diproses secara hukum.

“[Jika tidak diselesaikan di ranah hukum] di tubuh kepolisian merasa terlegitimasi tindakan kekerasannya. Sehingga menjadi biasa dan tumbuh menjadi suatu budaya,” kata Rivanlee Anandar, wakil koordinator KontraS.

Menurutnya, kasus pembantingan mahasiswa itu adalah wujud dari eskalasi pembiaran yang selama ini ada di tingkatan internal dan eksternal kepolisian yang melegitimasi aksi tersebut.

‘Mayoritas tidak ada proses penindakan’

Berdasarkan catatan KontraS yang dibagikan kepada BBC, sepanjang 2020 hingga September 2021 terdapat total 814 kasus kekerasan yang diduga melibatkan anggota polisi. Pada 2020 tercatat terdapat 372 kasus dan pada 2021 tercatat 442 kasus.

“Data ini dikumpulkan dari ‘data terbuka’, yakni penelusuran media, pendampingan kasus, dan informasi dari jaringan organisasi,” kata Rivanlee.

Dalam data tersebut, sebanyak 714 kasus dinyatakan tidak mendapat proses penindakan. Selain itu, setidaknya 49 kasus dalam pemeriksaan Propam, serta setidaknya 13 kasus pelaku ditetapkan sebagai tersangka. Kemudian sisanya beragam, mulai dari penangkapan, penahanan, dan sanksi kode etik.

Korban dalam data ini pun bervariasi, mulai dari aktivis, jurnalis, mahasiswa, hingga masyarakat sipil.

“Ini [kasus pembantingan mahasiswa] tidak bisa dimaknai sebagai kasus tunggal saja, tapi ini sudah sistemik dan berulang,” kata Rivanlee.

Ia mendesak Polri untuk tetap membawa kasus ini ke ranah pidana sehingga kasus ini menjadi preseden agar anggota polisi patuh terhadap peraturan kapolri dalam pengendalian massa dan standar HAM yang dimiliki Polri.

“[Jika tidak diproses pidana] yang lebih parah lagi ini akan menimbulkan pola-pola baru dalam pembungkaman warga sipil, baik itu secara daring dan luring [langsung],” tutup Rivanlee.

Kasus akan berulang jika proses hukum diabaikan

Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) bidang Kepolisian, Bambang Rukminto, menilai tindakan kekerasan yang melibatkan anggota kepolisian berulang akibat tidak adanya ketegasan terkait pendisiplinan anggotanya.

“Sanksi-sanksi yang keras pada anggota yang melanggar SOP masih sekedar formalitas,” kata Bambang.

Menurutnya, penyelesaian secara damai dapat menimbulkan persepsi bahwa keadilan dapat dinegosiasikan.

“Ini yang menjadi salah kaprah dalam penegakan hukum kita. Kasus-kasus ini sering terulang karena ada kesalah kaprahan seperti itu.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

scroll to top